Selasa, 10 Februari 2009

masalah diare

MASALAH DIARE DI INDONESIA

.
Diare masih merupakan masalah kesehatan masyarakat di Negara berkembang termasuk Indonesia karena morbiditas dan mortalitasnya yang masih tinggi.Diare merupakan penyakit yang sering terjadi pada anak dan sampai saat ini masih merupakan penyebab utama kematian pada anak di seluruh Dunia,khususnya di Negara berkembang. Dinegara berkembang setiap tahunnya kurang lebih terjadi 1,3 milyar episode diare dengan 3-6 juta kematian yang sebagian besar merupakan anak di bawah 5 tahun .Secara keseluruhan anak-anak ini mengalami 3,3 episode diare tiap tahunnya tetapi dibeberapa tempat dapat lebih dari 9 episode per tahun
Penting bagi kita melakukan pendekatan dengan batasan yang benar .Secara umum kita mengenal diare akut ,diare kronik dan syndrome disentri.Disebut diare akut bila diare berlangsung kurang dari 1 minggu,umumnya karena infeksi .Bila karena sesuatu hal diare infeksi berlanjut lebih dari 1 minggu kita menghadapi diare yang melanjut. Bila diare melanjut tidak sembuh dan melewati 14 hari atau lebih kita berhadapan dengan diare persisten.
Diare kronik adalah diare karena sebab apapun yang berlangsung 14 hari atau lebih , oleh karena itu diare persisten merupakan bagian dari diare kronik .Masalah diare kronik mungkin berbeda antar Negara, misalnya penyakit Chorn, fibrosis kistik dan penyakit seliak merupakan penyakit dengan manifestasi diare kronik yang banyak ditemukan di Negara barat (Amerika & Eropa) tetapi langka di Indonesia.
Bila diare mengandung lendir dan darah maka disebut sindrom disentri. Di negara berkembang seperti Indonesia, karena prevalensi infeksi saluran cerna tinggi, sindrom disentri pertama dikaitkan dengan infeksi Shigella. Walaupun demikian perlu diingat bahwa sindrom disentri dapat disebabkan kuman invasif lain ,seperti Yersinia enterocolica, campylobacter yeyuni dan lain-lain .Bahkan alergi susu sapi dapat menimbulkan gejala diare berdarah.
Hal lain yang juga penting adalah mengenai diare primer dan diare sekunder .
Disebut diare primer bila infeksi memang terjadi pada saluran cerna, misalnya karena infeksi Salmonella .Tetapi diare bisa sebagai gejala ikutan dari berbagai penyakit sistemik seperti pada bronkopnemonia, ensefalitis dan lain-lain
Pola defekasi (frekuensi defekasi dan konsistensi tinja) pada neonatus dan bayi juga perlu dipertimbangkan .Sampai usia 4-6 bulan saeringkali bayi masih defekasi lebih dari 3 kali sehari dan konsistensinya masih cair atau lembek . Sejauh tumbuh kembangnya baik , hal ini tidak digolongkan dalam diare.
Diare dapat disebabkan oleh berbagai patogen seperti bakteri , virus dan parasit, tetapi penelitian epidemis menunjukkan bahwa penyebab utama (>50 %) diare akut cair adalah rotavirus, oleh karena itulah sebagian besar diare akut tidak diberi antibiotik, Kecuali pada diare invasif (disentri), pemberian antibiotika tidak ada manfaatnya .Diare karena infeksi umumnya bersifat self limiting , yang penting adalah mencegah terjadinya dehidrasi yang menjadi penyevab kematian dan menjamin asupan nutrisi untuk mencegah gangguan pertumbuhan akibat diare. Dari aspek etiologi kita memang kekurangan data karena mahalnya pemeriksaaan dan kualitas kultur tinja yang belum memadai.
Sebagai dokter penting sekali mempunyai kemapuan klinis dalam menilai derajat dehidrasi .Karena hal itu adalah menentukan apakah pasien perlu diobati sendiri atau dirujuk untuk rehidrasi parenteral. Secara umum diare dengan dehidrasi berat harus dirujuk ke rumah sakit untuk mendapatkan rehidrasi parenteral . Tetapi pada kasus kasus yang belum dehidrasi berat , tetapi pemberian rehidrasi oral dinilai akan gagal, rujukan rumah sakit perlu dilakukan untuk observasi yang ketat dan kemungkinan rehidrasi parenteral.
Terdapat empat pilar penting dalam tata laksana diare , yaitu rehidrasi,dukungan nutrisi,pemberian obat sesuai indikasi dan edukasi orang tua. Pada kenyataannya terdapat kesenjangan antara yang dianjurkan dan yang di praktekkan dalam menatalaksana anak dengan diare. Dirumah sakit lebih dari 80 % anak dengan diare yang dirawat mendapat antibiotik dan antidiare. Dipoliklinik rawat jalan lebih dari 60% anak dengan diare mendapat antibiotik dan antidiare .Sementara penggunaaan cairan oral rehidrasi bayak diabaikan .
Pemberian obat yang kurang rasional akan meberikan efek yang kurang menguntungkan . Pemberian antibiotik yang tidak rasional misalnya justru dapat memperpanjang daire menajdi persisten. Pemberian antibiotik akan mengganggu keseimbangan flora dan usus dan kuman Clostridium difficle akan bertumbuh kembang dan menyebabkan diare yang sulit sembuh . Pemberian antibiotick yang tidak rasional juga akan memperlama masa ekskresi patogen melalui tinja sehingga akan meningkatkan resiko penularan. Selain itu pemberian antibiotik yang tidak rasional akan mempercepat resistensi kuman terhadap antibiotik,selain menambah biaya pengobatan yang tidak perlu.
Seng merupakan komponen >300 enzim dan dibutuhkan unutk sisntesa DNA, pembelahan sel dan sintesis protein . Gejala dan tanda defisiensi seng tidak jelas terutama pada yang ringan . Prevalensi defisiensi Zn di Indonesia cukup tinggi berkisar antara 44-60 % . Angka kejadian diare 47% lebih tinggi pada anak dengan defisiensi seng . Penelitian menunjukan suplementasi seng dapat menurunkan angka kejadian diare akut dan diare persisten. Metaanalisis suplementasi seng pada anak di Negara berkembang (India,Meksiko,Papua Nugini, Peru .Vietnam, Guatemala. Bangladesh, Pakistan. dan Jamaica) memperlihatkan penurunan secara bermakna angka kejadian diare akut ,disentri ,diare persisten dan pneumonia . Sejak tahun 2004 WHO dan UNICEF setelah mempelajari berbagi penelitian diseluh dunia menganjurkan pemberian Zn pada anak dengan diare 20 mg per hari selama 10-14 hari (pada bayi <6 bulan 10 mg per hari ) selama 10-14 hari.
WHO dan UNICEF juga telah mengkaji penggunaan cairan rehidrasi oral dengan osmolaritas lebih rendah dibandingkan dengan komposisi cairan rerhidrasi oral sebelumnya . Komposisi cairan rehidrasi oral osmolaritas rendah mengandung natrium dan glukosa yang lebih rendah . WHO menganjurkan komposisi cairan rehidrasi oral osmolaritas rendah untuk digunakan pad anak dengan diare sejak sekarang.
Probiotik adalah kuman yang bila dikonsumsi per oral akan memberikan manfaat positif bagi kesehatan, baiasanya bakteri genus Bifidobakteria dan Lactobacillus . Metaanalisis menunjukkan bahwa probiotik tertentu bermanfaat dalam mempersingkat lama diare pada anak . Probiotik bermanfaat pula dalam mencegah diare pada bayi. Uji klinik juga membuktikan bahwa probiotik dapat mencegah diare nosokomial dari 3,3 % menjadi 6,7% . khusus diare rotavirus diturunkan dari 17,7 % menjadi 2,2 % . Diare akibat pemberian antibiotik juga dapat di cegah oleh pemberian probiotik
Rotavirus merupakan penyebab utama diare pada anak. Penelitian pada beberapa lokasi di Indonesia menunjukkan 35% -62% kasus diare pada anak disebabkan rotavirus ,baik pada pasien rawat jalan maupun rawat inap. Secara alamiah ,infeksi primer rotavirus (sesudah 6 bulan ) akan menimbulkan manifestasi klinis yang berat ,infeksi berikutnya menimbulkan manifetasi klinik yang ringan karena telah terbentuknya antibodi. Vaksin rotavirus diberikan untuk meniru respon tubuh seperti infeksi alamiah , tetapi infeksi pertama oleh vaksin tidak menimbulkan diare .Penelitian fase 3 vaksin rotavirus menunjukkan imunogenitas yang baik dan efek samping yang kurang bermakna . Didunia telah beredar vaksin rotavirus oral yang diberikan sebelum usia 6 bulan dalam 2-3 kali pemberian dengan interval 4-6 minnggu .tetapi sayangnya harga vaksin tersebut sangat mahal.
Bila sebagai dokter kita menatalaksana diare sesuai dengan 4 pilar tersebut diatas, sebagaian besar (90%) kasus diare pada anak akan sembuh dalam waktu kurang dari 7 hari ,sebagian kecil (5%) akan melanjut dan sembuh dalam kurang 14 hari dan sebadaian kecil (5%) akan menjadi diare persisiten.
Bila kita keluar dari panduan, proporsi diare melanjut dan diare persisiten akan meningkat dan akan memberi konstribusi bermakna terhadap ganguan tumbuh kembang pada anak . Sebagi penutup di bawah ini konsep tatalaksana diare pada anak:
· Utamakan upaya rehidrasi pada anak dengan diare sejak dini ;gunakan cairan rehidrasi oral osmolaritas rendah. Bila gagal rujuk ke rumah sakit untuk kemungkinan mendapat terapi rehidrasi parentral
· Pada anak dengan rehidrasi berat atau yang diduga akan terjadi kegagalan pada pemberian oral rujuk ke rumah sakit untuk kemungkinan mendapat terapi rehidrasi parentral
· Berikan dukungan nutrisi yang memadai pada anak dengan diare untuk menghindari terjadinya gangguan gizi pada anak .Berikanlah anak makanan segera setelah anak dapat makan , jangan memuasakan anak . Makanan anak diare di sesuaikan dengan kondisi anak . Pemberian Asi harus terus dilanjutkan .Penggantian formula bayi hanya dilakukan bila diperlukan
· Berikan antibiotik secara rasional , antibiotik hanya pada kasus tersangka kolera ,tersangka disentri terbukti amubiasis dan terbukti giardiasis.
· Berikan preparat Zn pada anak diare dengan dosis 20 mg perhari ( Pada anak <6 bulan 10mg) selam 10-14 hari
· Probiotik dapat diberikan pada anak dengan diare
· Berikan penyuluhan pada orang tua pasien mengenai tatalaksana diare pada anak di rumah



Daftar Pustaka
1.Cook GC Diarreal disease :a world –wide problem .J Royal Soc Med 1998;91;192-4
2.Robertstad B,Strand T,Black R,Sommefelt H. Cost effectiveness of zinc as adjunct therapy for acute childhood diarrhea in developing countries ,Bull WHO 2004;82:523-31
3. Van Neil CW, Faudtner C, Garrison MM, Christakis DA . Lactobacillus therapy for acute infectious diarrhea in children : a meta – analysis .pediatrics 2002;109:678-84
4.Hahn S, Kim Y,Garner P. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating dehydration due diarrhoea in children: systematic review. BMJ 2001;323:81-5
5.Roy CC, Silverman A, Alagille D. Diarrheal disorders. Dalam Roy CC, Silverman A, Alagille D , Penyunting.Pediatric clinical gastroenterology . Edisi ke 4 st. Louis: Mosby 1995.h.216-86























DIARE AKUT CAIR

.
Definisi
Yang dimaksud dengan diare cair adalah buang air besar dengan peningkatan frekuensi buang air besar dengan konsistensi tinja cair,tanpa terlihat darah, dan dapat disertai gejala lain seperti mual, muntah, demam, atau nyeri perut. Sedangkan, yang dimaksud dengan diare akut adalah diare yang berlangsung kurang dari 7 hari.

Epidemiologi
Meskipun angka kematian diare akut menurun dari 4,5 juta kematian pada tahun 1979 menjadi 1,6 juta pada tahun 2002 di Negara berkembang, tetapi angka kejadian diare akut masih masuk urutan 5 besar dari penyakit yang sering menyerang anak. Di Indonesia, angka kejadian diare akut diperkirakan masih sekitar 60 juta episode setiap tahunnya, dan 1-5 % diantaranya berkembang menjadi diare kronis

Etiologi
Diare dapat disbabkan oleh berbagai hal, diantaranya infeksi (saluran cerna maupun luar saluran cerna), gangguan absorpsi (malabsorpsi), alergi makanan, keracunan makanan, imunodefisiensi. Infeksi saluran cerna merupakan penyebab tersering. Rotavirus merupakan penyebab utama (70-80%), sedangkan bakteri dan parasit ditemukan pada 20% dan 10% anak.

Gejala Klinis
Selain diare, anak menjadi cengeng, gelisah, suhu badan mungkin meningkat, nafsu makan berkurang atau tidak ada nafsu makan. Tinja mungkin mengandung darah dan / atau lendir. Meningkatnya asam laktat akibat fermentasi laktosa di dalam usus besar menyebabkan tinja menjadi asam yang dapat mengiritasi anus dan sekitarnya sehingga lecet. Muntah dapat terjadi sebelum diare.
Kehilangan air dan elektrolit dapat menyebabkan dehidrasi; berat badan turun, ubun-ubun besar cekung pada bayi, tonus dan turgor kulit berkurang, selaput lendir mulut dan bibir tampak kering. Kehilangan cairan dan elektrolit yang berlebihan dapat menimbulkan gejala klinis sesak, kejang, dan kesadaran menurun.


Patogenesis
Ada 2 prinsip mekanisme diare cair, yaitu sekretorik dan osmotik.
Meskipun dapat melalui kedua mekanisme tersebut, diare sekretorik lebih sering ditemukan pada infeksi saluran cerna. Begitu pula kedua mekanisme tersebut dapat terjadi bersamaan pada satu anak.

Diare Sekretorik
Diare Sekretorik disebabkan oleh sekresi air dan elektrolit ke dalam usus halus yang terjadi akibat gangguan absorpsi natrium oleh vilus saluran cerna, sedangkan sekresi klorida tetap berlangsung atau meningkat. Keadaan ini menyebabkan air dan elektrolit keluar dari tubuh sebagai tinja cair. Diare sekretorik ditemukan diare yang disebabkan oleh infeksi bakteri akibat rangsangan pada mukosa usus oleh toksin E.coli atau V.cholera 01.

Diare Osmotik
Mukosa usus halus adalah epitel berpori, yang dapat dilalui oleh air dan elektrolit dengan cepat untuk mempertahankan tekanan osmotik antara lumen usus dengan cairan ekstrasel. Oleh karena itu, bila di dalam lumen usus terdapat bahan yang secara osmotik aktif dan sulit diserap akan menyebabkan diare. Bila bahan tersebut adalah larutan isotonik, air atau bahan yang larut, maka akan melewati mukosa usus halus tanpa diabsorbsi sehingga terjadi diare.

Patofisiologi
Diare dapat menyebabkan:
Dehidrasi, akibat kehilangan air (output) lebih banyak dibanding masukan air (input)
Gangguan keseimbangan asam-basa (metabolic asidosis) karena:
· Kehilangan Na-bikarbonat bersama tinja
· Ketosis kelaparan
· Penimbunan asam laktat karena anoksia jaringan
· Produk metabolisme yang bersifat asam meningkat karena tidak dapat dikeluarkan oleh ginjal (terjadi oliguria / anuria)
· Pemindahan ion Na dari cairan ekstraselular ke dalam cairan intraselular
Hipoglikemia : hipoglikemia terjadi pada 2-3 % anak yang menderita diare dan sering pada anak yang sebelumnya sudah menderita KKP. Gejala hipoglikemia akan muncul jika kadar glukosa darah menurun sampai 40 mg%, yang berupa anak lemah, apatis, peka rangsang, tremor, berkeringat, pucat, syok, kejang sampai koma.
Gangguan nutrisi : pada saat anak menderita diare, sering terjadi gangguan nutrisi akibat penurunan berat badan dalam waktu singkat. Hal ini dapat disebabkan oleh:
· Makanan sering dihentikan orang tua karena takut diare atau muntah akan bertambah hebat
· Susu diberikan dengan pengenceran dan dalam waktu yang lama
· Makanan yang diberikan sering tidak dicerna dan diabsorpsi dengan baik, karena adanya hiperperistaltik
Gangguan sirkulasi: diare dengan / tanpa disertai muntah dapat menyebabkan gangguan sirkulasi darah berupa renjatan (syok) hipovolemik. Perfusi jaringan yang berkurang menyebabkan hipoksia, asidosis metabolik bertambah hebat, pendarahan otak, penurunan kesadaran, dan bila tidak segera ditolong dapat meninggal.

Pendekatan diagnosis
Beberapa hal yang perlu dilakukan bila mendapatkan anak dengan diare akut:
Menilai derajat dehidrasi
Memberikan pengganti cairan dan elektrolit yang keluar
Mencegah penyebaran kuman enteropatogen
Cari etiologi dan beri pengobatan yang spesifik sesuai indikasi

Lakukan anamnesis dengan teliti terutama tentang asupan peroral, frekuensi dan volume tinja yang keluar, keadan umum, aktivitas anak, dan frekuensi miksi/urin. Data lain yang diperlukan adalah adanya kunjungan ke tempat penitipan anak, daerah endemik diare, penggunaan antibiotik, kontak dengan orang lain yang mempunyai gejala sama, asupan makanan laut dan sayuran yang tidak dicuci, susu yang tidak dipasturisasi, air yang terkontaminasi, atau daging yang tidak dimasak. Lama dan beratnya diare, konsistensi tinja, adanya lendir dan darah, dan gejala lain yang berhubungan seperti demam, muntah, kejang juga penting untuk diketahui.
Demam menunjukan proses inflamasi dan dapat pula timbul karena adanya dehidrasi. Mual dan muntah merupakan gejala yang spesifik, tetapi muntah menunjukan adanya mikroorganisme yang menginfeksi saluran cerna atas, seperti virus enteric, bakteri yang memproduksi enterotoksin, Giardia, dan Cryptosporidium. Demam merupakan hal yang sering terjadi pada pasien dengan diare karena infeksi, sedangkan nyeri perut biasanya pada diare yang lebih berat, dan tenesmus dapat timbul pada perut bagian bawah dan rektum yang menunjukan adanya keterlibatan usus besar. Pada diare non inflamasi, demam biasanya tidak ada atau tidak tinggi, nyeri biasnya berupa kram, periumbilikal, dan tidak berat, dan diare yang lebih banyak air menunjukan keterlibatan saluran cerna bagian atas. Pasien dengan defisiensi imun biasanya memerlukan pertimbangan khusus, sehingga informasitentang penyakit kronis atau defisiensi imun yang mendasari diare penting untuk diketahui.

Tatalaksana
Pada saat seorang anak datang dengan keluhan diare, lakukanlah langkah-langkah pemeriksaan / penilaian yang mencakup:
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik yang cermat
2. Tentukan derajat dehidrasi
· Tanpa dehidrasi : kekurangan cairan < 5 % berat badan (Kategori A)
· Dehidrasi ringan -sedang: kekurangan cairan 5-10 % berat badan (Kategori B)
· Dehidrasi berat : kekurangan cairan > 10 % berat badan (Kategori C)
Tabel 1. Penilaian derajat dehidrasi pada pasien diare
Kategori
A
B
C
Lihat/Inspeksi :
Kondisi
Mata
Derajat haus

baik, sadar
normal
minum biasa, tidak haus

gelisah
layu / cekung
haus, sangat haus

letargi, tidak sadar
layu/ cekung
minum dengan lemas / tidak mampu minum
Raba/Palpasi :
Cubitan Pada Kulit

kembali dengan cepat

kembali lambat

kembali sangat lambat
Tentukan:
Tanpa Dehidrasi:
Dehidrasi ringan-sedang:
Bila terdapat 2 atau lebih tanda *
Dehidrasi berat:

Bila terdapat 2 atau lebih tanda *
Tatalaksana
Rencana Terapi A
Rencana Terapi B
Rencana Terapi C

Catatan:
- Letargi berbeda dengan tidur, seorang anak yang letargi bukan hanya tertidur tetapi status mental / kesadaran anak menurun dan sulit untuk dibangunkan
- Pada beberapa anak, dalam keaadan normal mata tampak layu/cekung, sehingga sangat penting menanyakan pada orang tua apakah mata anaknya lebih layu/cekung dari biasanya.
- Pada bayi/anak dengan gizi buruk atau obesitas, cubitan kulit biasanya tidak berguna. Tanda-tanda lain yang menunjukan anak dengan gizi buruk mengalami dehidrasi harus dicari.


3. Pilih rencana pengobatan yang sesuai
Prinsip pengobatan diare meliputi (a) terapi cairan, (b) dietetik, (c) terapi suportif, dan (d) edukasi.
Tujuan pengobatan :
1. Mencegah dehidrasi
2. Mengatasi dehidrasi yang telah ada
3. Mecegah kekurangan nutrisi dengan memberikan makanan selama dan setelah diare
4. Mengurangi lama dan beratnya diare, serta berulangnya episode diare, dengan memberikan suplemen zinc

Tujuan pengobatan di atas dapat dicapai dengan cara mengikuti rencana terapi yang sesuai, seperti yang tertera di bawah ini :
1. Rencana terapi A : terapi dilaksanakan di rumah untuk mencegah dehidrasi dan malnutrisi. Seorang anak dengan diare tanpa dehidrasi memerlukan cairan dan garam tambahan untuk mengganti cairan dan elektrolit yang hilang untuk mencegah terjadinya dehidrasi. Beberapa hal yang harus diajarkan kepada ibu untuk mencegah dehidrasi, malnutrisi dan saat merujuk ;
- Berikan anak cairan lebih banyak dari biasanya untuk mencegah dehidrasi.
- Teruskan pemberian makanan pada anak untuk mencegah malnutrisi
- Beri suplemen Zinc elemental (10 mg untuk anak usia <> 6 bulan), selama 10-14 hari
- Bawa anak ke dokter/tenaga kesehatan bila terdapat tanda-tanda dehidrasi atau masalah lainnya, seperti tinja cair keluar amat sering, muntah berulang, rasa haus meningkat, atau tidak dapat makan/minum seperti biasanya.
Cairan Rehidrasi Oral (CRO)
Komposisi CRO sangat penting untuk memperoleh penyerapan yang optimal. Terapi CRO yang dianjurkan oleh WHO selama 3 dekade ini dengan menggunakan cairan elektrolit dan glukosa telah berhasil menurunkan angka kematian akibat dehidrasi pada diare, karena kombinasi gula dan garam ini dapat meningkatkan penyerapan cairan di usus. CRO selain murah juga mudah digunakan dan aman, sehingga sangat efektif dan efisien digunakan pada pusat pelayanan kesehatan dengan jumlah tenaga kesehatan yang terbatas serta tidak mempunyai tenaga yang terlatih. Sesuai dengan anjuran WHO saat ini dianjurkan penggunaan CRO dengan komposisi Na 75 mmo/L, K 20 mmol/L, Cl mmol/L, Glukosa 75 mmol/L, Sitrat 10mmol/L.

2. Rencana terapi B:
Pada dehidrasi ringan-sedang, CRO diberikan dengan pemantauan yang dilakukan di Ruang Rawat Inap Sehari atau Pojok Upaya Rehidrasi Oral selama 3 jam. Penilaian kembali derajat dehidrasi, bila masukan minum/makan baik, penderita dapat dipulangkan. Beberapa hal yang perlu diperhatikan saat pemantauan yaitu :
- Jumlah CRO yang harus diberikan?
- Cara pemberian CRO?
- Pemantauan kemajuan terapi rehidrasi oral
- Penghentian terapi CRO
- Kapan rehidrasi oral dianggap gagal?
- Pemberian zinc
- Pemberian makanan

Tabel. 2 Panduan terapi dehidrasi ringan-sedang
Jumlah cairan rehidrasi oral (CRO) yang harus diberikan 3 jam pertama
Usia
< 4 bln
4-11 bln
12-23 bln
2-4 th
5-14 th
> 15 th
Berat badan
< 5 kg
5-7,9 kg
8-10,9 kg
11-15,9 kg
16-29,9 kg
>30 kg
Jumlah(mL)
200-400
400-600
600-800
800-1200
1200-1200
2200-2400
Keterangan: Panduan usia digunakan bila berat badantidak diketahui.


3. Rencana terapi C: terapi dehidrasi berat
Bila anak dapat minum, CRO dapat diberikan sampai cairan parenteral dapat diberikan. Cairan parenteral yang diberikan adalah Ringer laktat sebanyak 100 ml/kgBB dengan tahapan sebagai berikut :

Tabel 3. Panduan terapi intravena pada dehidrasi berat
Usia
Pertama beri 30 ml/kg dalam : Selanjutnya beri 70 ml/kg dalam
Bayi (< 1 tahun)
1 jam
5 jam
Anak (> 1 tahun)
½ jam
2 ½ jam

Catatan:
- Ringer laktat diberikan pada 1jam tahap pertama, sedangkan pada tahap selanjutnya dapat diberikan KaEN 3B
- Setelah 6 jam (Bayi) atau 3 jam (anak), pasien dievaluasi dengan menggunakan tabel penilaian dehidrasi dan tentukan rencana terapi selanjutnya sesuai status dehidrasi (A,B,C).
- Ulangi 1 kali lagi bila pulsasi nadi masih sangat lemah atau tidak teraba

Gangguan elektrolit
Pada diare akut cair sering disertai gangguan elektrolit (hiponatremia, hipokalemia, dan hipernatremia) akibat keluarnya cairan dan elektrolit melalui tinja. Oleh karena itu, pemantauan dan koreksi ganggian yang ada sangat penting untuk dilakukan.

Terapi dietetik
1. ASI tetap diberikan
2. Bila tidak mendapat ASI atau sudah mendapat tambahan susu formula:
a. Diare tanpa dehidrasi atau dehidrasi ringan sedang, susu formula tidak perlu diganti
b. Diare dengan dehidrasi berat diberikan susu formula babas laktosa
c. Diare dengan dehidrasi ringan-sedang disertai gejala klinis intoleransi laktosa yang jelas, dapat diberikan susu formula bebas laktosa.
3. Makanan sehari -hari sesuai usianya diteruskan dan diberikan sebanyak dia mau. Pemberian sedikit-sedikit dan sering lebih dapat diterima dibanding jumlah besar tetapi jarang.
4. Setelah diare berhenti, bahkan makanan paling tidak satu kali lebih banyak dari biasanya setiap hari selama 1 minggu.

Diare cair dengan dugaan kolera
Bila kita mencurigai bahwa diare yang terjadi merupakan kolera, awasi tanda dehidrasi yang seringkali berat. Kolera sebaiknya dipikirkan pada anak usia lebih dari 5 tahun yang menderita dehidrasi berat akibat diare akut cair (biasanya disertai muntah). Pantau ketat terhadap tanda-tanda dehidrasi, bila perlu berikan cairan parenteral, berikan antibiotika peroral yang efektif untuk strain V. Cholera (oksitetrasiklin atau doksisiklin) dan berikan suplementasi zinc secepatnya setelah gejala muntah berhenti. Dosis pertama harus diberikan secepatnya setelah muntah berhenti, biasanya 4-6 jam setelah terapi rehidrasi.

Daftar Pustaka
1. Burkhart DM. Management of acute gastroenteritis in children. Am Fam Physician 1999;60:2555-66
2. EliasonBC, Lewan RB.Gastroenteritis in Children : principles of diagnosis and treatment. Am Fam Physician 1998;58:….
3. Hahn S, Kim Y, Garner P. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating dehydration due to diarrhea in children : systematic review. BMJ 2001;323:81-5
4. Pediatric gastroenterology subdivision Child Health Departement Medical Faculty University of Indonesia. Teaching medical students about diarrheal disease. Disitasi dari http://www.who.int/child-adolescent-health/New-Publication /CHILD Health pada tanggal 15 April 2003.
5. DITJEN PPM & PLP Departemen Kesehatan RI. Epidemiologi dan Etiologi diare. Dalam :: DITJEN PPM & PLP Departemen Kesehatan RI, Penyunting Pendidikan Medik Pemberantas diare (PMPD): Buku Ajar Diare, 1999.h.3-16.
6. WHO/UNICEF, Joint statement : Clinical manegement of acute diarrhea 2004
7. Hegar B, Kadim M. Tata laksana diare akut pada anak, MKKI 2003; 1:219-23.
8. Pyckering LK, Snyder JD. Gastroenteritis. Dalam: Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, penyunting. Nelson textbook of pediatrics. Edisi ke-17. Philadelphia: Saunders, 2004. h. 1272-6.
9. USAID, WHO, Unicef. Overview of the management of diarrhea, Dalam: USAID, WHO, Unicef, penyunting. Diarrhoea treatment guidelines for clinical-based healthcare workers, 2005.h. 1-1c.
10. Department of Child and Adolescent Health anad Devolepment WHO. The treatment of diarrhea: A manual for physicians and other senior health workers. Edisi ke-4. Geneva: WHO , 2005.
11. Hahn S, kim Y, garner P. Reduced osmolarity oral rehydration solution for treating dehydration due to diarrhea in children; systematic review. BMJ 2001;323:81-5.
12. Duggan C, Fontaine O, Pierre NF, Glass RI, Mahalanabis D. Alam NH, et al. Scientific rationale for a chage in the composition of oral rehydration solution. JAMA 2004;291:2628-31.
13. Department of child health and adolescent health and development WHO. Rejuced osmolarity oral rehydration salts (ORS) formulation. Report from a meeting of experts jointly organized by UNICEF and WHO house. USA 2001.
14. Santosham M, Fayad 1. Zikri MA, Hussein A, Amponsah A, Duggan C, et al. A Jouble-bind clinical trial comparing World Health Organization oral rehydration solution with a reduced osmolaty solution containg equal amounts of sodium and glucose. J pediatric 1996;128:45-51.
15. USAID, WHO, Unicef. Diarrhoea treatment guildelines; including new recommendations for the use of ORS and zinc supplementation for slinic-based health workers. Arlington: The MOST Project, 2005.
DIARE MELANJUT
.
Diare mwlanjut adalah diare karena infeksi yang berakhir antara 7-14 hari, sedangkan bila berlangsung lebih dari 14 hari disebut diare persisten. Diare Kronik adalah diare yang berlangsung lebih dari 14 hari karena sebab apapun, termasuk infeksi dan non-infeksi,.
Bebarapa peneliti melaporkan bahwa penyebab diare persisten yang paling sering adalah rotavirus, diikuti oleh Giardia Lamblia dan Enterotoxigenic E. coli (ETEC).
Biasanya diare melanjut bermula dari diare akut akibat pengaruh dari virulensi kuman atau imunitas yang kurang. Terdapat laporan bahwa pada diare melanjut ditemukan bakteri 60-90%, bahkan kadang-kadang ditemukan beberapa jenis bakteri pada seorang pasien.
Diare yang lama bias menimbulkan kerusakan mukosa usus dengan akibat terjadinya gangguan absorbsi nutrient dan menimbulkan gangguan gizi. WHO1 memperkirakan 3-20% dari kasus diare akut bias menjadi diare persisten.

Faktor resiko terjadinya diare melanjut/persisten
1. Gizi kurang: yang akan memperlambat regenerasi mukosa usus.
2. Tidak mendapat ASI dan pemberian susu formula dapat menimbulkan intolerensi laktosa dan hipersensitif terhadap protein susu sapi.
3. Umur kurang dari 18 bulan, umumnya usia 6-11 bulan. Hal ini disebabkan oleh antibody ibu yang sudah menurun, kekebalan aktif bayi kurang, bayi mulai terpajan pada lingkungan sekitar.
4. Imunitas kurang pada anak dengan gizi buruk, terinfeksi virus seperti campak atau AIDS.
5. Riwayat diare sebelumnya.
6. Obat-obat yang diberikan, termasuk antibiotic.

Patogenesis Diare melanjut
Patogenesis terjadinya diare melanjut bias disebabkan oleh satu atau beberapa factor. Pada infeksi bakteri terjadi kerusakan mukosa usus dengan regenerasi yang lambat, akibatnya terjadinya akan defisiensi lactase. Karena itulah perlu diberikan susu bebas laktosa pada penderita diare dengan intoleransi laktosa.
Pada infeksi rotavirus, diare melanjut terjadinya akibat defisiensi lactase yang berkepanjangan. Kerusakan mukosa yang memnetap dan diare osmotik dengan pemberian makanan yang salah merupakan factor resiko terjadinya diare melanjut. Keadaaan ini menerangkan kenapa pada bayi-bayi kecil yang mudah terserang diare oleh rotavirus, padahal regenerasi mukosa usus lebih lambat apalagi diperberat oleh malnutrisi dan intoleransi protein susu sapi, sering terjadi diare melanjut. Dari penelitian laboratorium ternyata didapatkan peninggian IFN gamma pada diare persisten.
Ada infeksi oleh G.Lamblia terjadi gangguan absorbsi nutrient dengan mekanisme sebagai berikut:
- Penutupan mukosa usus oleh trofozoit yang sangat banyak.
- Kerusakan mikrovilus.
- Kompetisi absorbsi nutrient dengan pejamu.
- Malabsorbsi oleh inflamasi mukosa, sering terjadi intoleransi laktosa.
- Bakteri tumbuh lampau (Bakterial overgrowth)

Pada malnutrisi sering terjadi diare akut melanjut sampai lebih dari 14 hari karena sintesis antibody berkurang, imunitas seluler terganggu, moltilitas usus yang menurun dan regenerasi sel mukosa usus lambat.

Tatalaksana
1. Anamnesis dan pemeriksaan fisik:
- Berapa lama diare berlangsung?
- Bagaimana pola makan bayi/anak selama diare?
- Bila kunjungan ulang: bagaimana perjalanannya penyakitnya, frekuensi diare, adakah darah.
- Ada tidaknya dehidrasi
- Status gizi anak, apakah menurun selama sakit

2. Pemeriksaan laboratorium
- Observasi tinja: adanya darah pikirkan shigella
- Mikroskopik tinja: lekosit (infeksi Shigella), kista atau Giardia lamblia atau E. histolika.
- Kultur tinja dan uji resistensi: mendeteksi bakteri patogen
- pH tinja atau zat yang mereduksi:bila positif merupakan tanda malabsorbsi karbohidrat (biasanya laktosa)
3. Penggantian cairan dan elektrolit
Biasanya jarang sampai dehidrasi berat, cukup diberikan oralit saja untuk dehidrasi ringan atau sedang. Bila dehidrasi berat baru diperlukan cairan intravena.
4. Terapi gizi
Tujuan :
- Menghindari laktosa dalam diet
- Memberikan asupan energi, protein, vitamin dan mineral yang cukup
- Menghindari makanan yang memperburuk diarenya
- Memastikan asupan gizinya cukup untuk mengkoreksi kurang gizi
5. Anak dengan usia kurang dari 6 bulan atau dengan dehidrasi perlu dirujuk untuk mendapat perawatan khusus untuk mempertahankan dehidrasinya, penggantian susu sapi, diet khusus, laboratorium untuk identifikasi bakteri pathogen atau protozoa dalam tinja atau prosedur lainnya. Untuk anak yang lebih besar dianjurkan untuk meneruskan pemberian ASI, hindari pemberian laktosa dalam diet, memastikan pemasukan energi yang cukup sebanyak 110 kcal/kg/hari dengan memberikan sereal kental dengan minyak sayur, hindari makanan rendah kalori yang diencerkan, menghindari makanan dengan osmolaritas tinggi yaitu makanan yang sangat manis atau mengandung sukrosa, memberi makanan sedikit-sedikit tetapi sering paling sedikit 6 kali perhari dan membewrikan tambahan vitamin dan minuman seperti asam folat, vitamin B12, vitamin A, Zn, Fe. Tindakan ini dilakukan selam 5 hari, kemudian anak diperiksa kembali. Bila diare tetap tidak berhenti, kirim anak ke RS, bila diare telah berhenti maka teruskan makanan yang sama selama 1 minggu kemudian berangsur-angsur diperkenalkan susu sapi atau makanan yang sesuai umurnya. Kemudian memberi makanan ekstra selama sebulan atau sampai berat badannya terkoreksi.





Daftar pustaka

1. Bulletin of WHO: Persistent diarrhea in children in developing countries; memorandum from a WHO meeting, 2003
2. Schorling, JB; Wanke, CA; Schorling, SU; McAuliffe, JF, De Souza, MA, Guerant, RL: A prospective study of persistent diarrhea among children in an Brazilia. Am.J. Epidemiaol. 132 , I: 144-156 (1990)
3. Fang, GD; Lima, AM; Martins, CV, Nataro, JP; Guerant, RL: Etiology and epidemiology of persistent diarrhea in Northeastern Brazil: a hospital based, prospective, case control study.
4. Buletin of the WHO: persistent diarrhea in children in developing countries; Memorandum from a WHO meeting, 1988; 66: 708-717.
5. Gracey, M: Environmental hygiene, undernuttition and diarrhea. In: M. Gracey, V. Burke.eds. ped. Gastroenterol. Hepatol. 3nd Ed. Boston, Blackwell scientific pub.:332-350 (1993)
6. grove, DI: Parasitic intestinal infection. In: Gracey, V. Burk eds. Pediatric Gastroenterology and hepatology 3 nd ed. Boston: Blackwell Scientific pub. : 318-331 (1993).
7. Parashar, UD; Bresee, JS, Gentsch, JR, Glass, RI: Rotavirus. Emerg. Infect. Disease.4: 561-570 (1998).
DIARE AKUT BERDARAH

Sekitar 10% episode diare pada anak kurang dari 5 tahun biasanya disertai darah pada tinjanya, dan hal ini menyebabkan 15-25% kematian akibat diare pada kelompok umur ini. Dibandingkan dengan diare akut cair, diare akut berdarah biasanya lebih lana sembuh dan berhubungan dengan komplikasi yang lebih banyak, antara lain dapat mempengaruhi pertumbuhan anak dan memiliki resiko kematian lebih tinggi. Diare akut berdarah pada anak yang lebih kecil biasanya merupakan pertanda masuknya bakteri invasif yang serius pada usus besar.

Definisi
Terminologi diare berdarah biasanya ditunjukkan pada episode diare akut yang pada tinjanya ditemukan darah yang terlihat secara kasat mata. Darah yang terlihat secara mikroskopis, atau tinja berwarma hitam yang manandakan adanya darah pada saluran cerna atas, bukan merupakan diare berdarah3. Diare berdarah sering disebut juga disentri, walaupun seringkali disentri lebih dihubungkan dengan diae berdarah yang diikuti dengan demam, keram perut, nyeri pada rectum dan tinja berlendir.

Etiologi
1. Bakteri invasif
Shigella merupakan penyebab tersering penyebab diare berdarah pada anak di Negara berkembang. Shigella menyebabkan lebih dari 50% dari seluruh episode diare berdarah, dan sebagian besar dari 370.000 kematian akibat diare berdarah per tahunnya di dunia pada anak kurang dari 5 tahun. Terdapat 4 spesies Shigella yang bersifat pathogen terhadap manusia yaitu S. sonnei, S. boydii yang biasanya memberikan gejala klinis lebih ringan, S. fleneri yang merupakan spesies utama penyebab shigellosis endemic di Negara berkembang, dan S. dysenteriae tipe 1 yang menyebabkan shigellosis epidemik dan endemik di Negara berkembang. Spesies ini biasanya menyebabkan gejala klinis berat dan mempunyai case fatality rate tinggi.Episode diare berdarah oleh bakteri pathogen lain jarang terjadi dan biasanya tidak serius dan penyebab biasanya lebih sulit untuk ditentukan kecuali pada laboratorium penelitian. Bakteri pathogen lain penyebab diare berdarah yaitu Campylobacter jejuni, enteroinvasive E. coli, entero-hemoragic E. coli dan Salmonelle serotype non-tifoid.

2. Entamoeba histolyca
Amoebiasis merupakan penyebab diare berdarah akut pada anak yang jarang terjadi yaitu kurang dari 3 % dari episode diare akut berdarah. Sebuah penelitian di Cina, India, Myanmar dan Pakistan yang melibatkan 3640 anak dibawah 3 tahun dengan diare akut ternyata hanya 10 kasus merupakan amoebiasis (0,3% dari seluruh episode diare atau 1,5% dari seluruh episode diare berdarah). Di Bangladesh, penelitian yang dilakukan pada 101 anak dengan diare berdarah (usia rerata 21 bulan) tidak ditemukan tropozoit E. histolytica pada tinjanya. Entamoeba histolytica menyebar melalui transmisi feka-oral dari kista amuba. Kista amuba yang tertelan dapat menyebabkan infeksi pada kolon yang invasif maupun tidak.

3. Non infeksi
Penyebab diare berdarah non infeksi dapat disebabkan oleh kelainan anatomi misalnya intususepsi, gangguan hematologi misalnya defesiensi vitaminK pada bayi baru lahir, kelainan imunologis misalnya purpura Henoch-Schönlein serta colitis ulseratif atau penyakit Chron’s.

Manisfetasi klinis dan diagnosis
Diagnosis klinis diare berdarah/disentri biasanya hanya didasarkan oleh adanya darah yang dapat dilihat secara kasat mata pada tinja. Hal ini dapat langsung ditanyakan pada orang tua maupun dilihat sendiri oleh dokter, namun kedua cara ini sama akuratnya. Pada pemeriksaan secara mikroskopis, tinja mengandung banyak sel-sel pus/nanah (leukosit polimorfonuklear (PMN) yang menandakan adanya infeksi bakteri yang menginvasi mukosa usus misalnya C. jejuni atau Shigella. Pada beberapa episode Shigellosis, diare pada awalnya lebih cair, dan menjadi berdarah setelah 1-2 hari. Diare cair ini kadang-kadang sangat berat dan menyebabkan dehidrasi. Pada episode diare berdarah seringkali disertai demam, nyeri perut, nyeri pada rectum, tenesmus, namun pada anak yang lebih kecil biasanya tidak dapat mengungkapkan hal tersebut.
Komplikasi yang kadang terjadi selama disentri yang disebabkan oleh Shigella yaitu perforasi usus, megakolon toksik, prolaps rectal, kejang (dengan atau tanpa demam tinggi), sepsis, sindrom hemolitik uremik (SHU), hiponatremia berkepanjangan. Komplikasi lain yang sering terjadi adalah kehilangan berat badan dan penurunan status gizi yang cepat. Hal ini biasanya disebabkan oleh nafsu makan yang kurang, kebutuhan nutrisi meningkat untuk melawan infeksi dan mengganti jaringan yang rusak, serta kehilangan serum protein melalui jaringan usus yang rusak (misalnya protein-losing enteropthy). Kematian akibat disentri biasanya disebabkan oleh kerusakan yang berat pada ileum dan kolon, komplikasi sepsis, infeksi sekunder ( misalnya pneumonia), atau gizi buruk.

Tata Laksana
Prinsip pengobatan diare akut berdarah meliputi: (1) pemberian antimikroba yang efektif terhadap Shigella, (2) pemberian cairan rehidrasi oral atau cairan lainnya untuk mencegah serta mengatasi dehidrasi, (3) melanjutkan pemberian makan pada anak selama anak diare dengan cara sedikit-sedikit dan sering (small frequent feeding), melanjutkan pemberian ASI kapan saja anak ingin minum ASI, dan (4) melakukan pemantauan secara ketat tiap 24-48 jam terhadap respon terapi, terutama pada anak dengan resiko morbiditas serius atau kematian. Bila keempat tahap ini dilakukan dengan baik, sebagian besar diare akut berdarah dapat sembuh dengan cepat dan komplikasi yang serius dapat dihindari. Pemberian makanan dengan porsi ekstra sebaiknya dilanjutkan sampai minimal 2 minggu pasca diare untuk mengembalikan kehilangan berat badan selama diare. Anak dengan diare berdarah dengan status gizi buruk harus dirawat dirumah sakit.
Berbagai antimikroba dianggap efektif untuk mengobati shigellosis, seperti ampisilin, kotrimoksazol dan asam nalidiksat. Antimikroba ini diberikan selama 5 hari sebelum didapatkan hasil resistensi strain Shigella lokal terhadap antibiotika. Hal ini disebabkan karena sebagian besar kasus diare akut berdarah pada anak disebabkan oleh Shigellia dan hampir seluruh episode diare yang disebabkan oleh Shigella adalah diare yang berat. Menentukan sensitivitas terhadap antibiotika pada strain Shigella lokal sangat penting, karena resistensi terhadap antibiotika sering terjadi dengan jenis resistensi yang berbeda-beda. Walaupun demikian saat ini pilihan antimikroba tersebut semakin sempit karena meluasnya resistensi antibiotika. Resistensi Shigella terhadap sulfonamide, tetrasiklin, ampisilin dan kotrimoksazol telah menyebar diseluruh dunia (resistensi Shigella terhadap antibiotika dapat dilihat pada table 1).
Pada anak dianjurkan pemberian sefalosporin generasi ketiga seperti sefiksim per oral, dan bila tidak menunjukkan respon pengobatan yang baik dapat diberikan seftriakson intravena. Obat-obat baru lain yang dikatakan efektif untuk Shigella antara lain adalah pivimesillinam dan golongan fluoroquinolon baru misalnya norfloksasin, levofloksasin, siprofloksasin dan enoksasin, namun demikian antibiotika golongan quinolon tidak direkomendasikan pada anak. Penelitian terbaru membuktikan azitromisin mempunyai efektivitas yang cukup baik dalam mengobati Shigellosis. Selain itu sebaiknya diberikan suplementasi zinc pada anak dengan diare tanpa dehidrasi maupun dehidrasi ringan-sedang.

Tabel 1. Antimikroba yang tidak efektif terhadap Shigellosis

Antimikroba yang tidak efektif terhadap Shigellosis
· Metronidazol
· Streptomisin
· Tetrasiklin
· Kloramfenikol
· Sulfonamid
· Amoksisilin
· Nicrofuran
(contoh: nitrofurantoin, furazolidon)
· Aminoglikosida
(contoh: gentamisin,kanamisin)
· Sefalosporin generasi pertama & kedua
(contoh: sefaleksin, sefamandol)

Pemantauan dilakukan setelah 2 hari pengobatan, dilihat apakah ada perbaikan tanda-tanda seperti demam, diare berkurang, darah dalam feses berkurang dan adanya peningkatan nafsu makan. Jika tidak ada perbaikan maka periksa adanya penyulit, hentikan pemberian antibiotik sebelumnya dan berikan antibiotik lini kedua untuk strain Shigella lokal. Jika kedua jenis antibiotik tersebut diatas tidak memberikan perbaikan maka periksa lagi adanya penyulit, atau obati sebagai pasien rawat jalan sebagai amoebiasis dengan pemberian metronidazol 10 mg/kg 3 kali sehari selama 5 hari. Pada bayi kurang dari 2 bulan perlu dipikirkan penyebab bedah seperti invaginasi dan enterokolitis ke ahli bedah dan berikan antibiotik IM/IV seftriakson 80-100 mg/kg sekali sehari selama 5 hari. Pemeriksaan tinja dapat melihat adanya bentuk trofozot Entamoeba yang memastikan diagnosis amubasis.
Gizi buruk
Membaik dalam 2 hari
Rujuk ke Rumah sakit
Beri antimikroba yang efektif terhadap Shigella
Membaik dalam 2 hari
· Awal masuk dehidrasi
· Usia < 1 tahun
· Menderita campak 6 minggu terakhir
Lanjutkan pengobatan sampai 5 hari
Rujuk ke Rumah Sakit
Lanjutkan pengobatan sampai 5 hari
Ganti antimikroba kedua untuk Shigella
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Rujuk ke Rumah sakit atau berikan pengobatan ammoebiasis
Tidak
Tidak
Tidak
Tidak
Ya
Ya
Gambar 1. Pengobatan diare berdarah pasien rawat jalan berusia kurang dari 5 thn
a. Pengobatan juga harus termasuk (i) pemberian terapi rehidrasi oral untuk mencegah atau mengobati: dehidrasi dan (ii) melanjutkan pemberian makanan termasuk ASI
b. Gunakan antimikroba oral yang efektif terhadap Shigella di daerah tersebut. Berikan antimikroba 3-5 hari
c. Bila tropozoit E. histolytica terlihat pada tinja dengan teknisi yang dipercaya, pengobatan terhadap amoebiasis harus diberikan.

Terapi penunjang berupa pencegahan dan koreksi terhadap dehidrasi serta meneruskan makan. Jangan pernah berikan obat simtomatis untuk sakit perut dan antidiare karena akan memperberat penyakitnya. Pengelolaan cairan yaitu dengan memberikan cairan sesuai dengan derajat dehidrasi yang terjadi. Pengelolaan nutrisi yaitu memberikan makanan dengan nilai gizi yang tinggi perlu diberikan untuk mencegah agar tidak menjadi gizi buruk karena pada diare berdarah nafsu makan akan berkurang. Adanya nafsu makan yang membaik adalah pertanda kesembuhan sudah mulai.
ASI harus terus diberikan selama terjadinya diare berdarah dan diberikan dengan frekuensi lebih sering dari biasanya karena bayi yang menderita diare berdarah akan minum ASI lebih sedikit jumlahnya dibanding dalam keadaan sehat. Anak umur 6 bulan keatas sebaiknya mendapat makanan seperti biasanya.

Pengelolaan komplikasi
Hipokalemia: keadaan ini bisa dicegah dengan pemberian ORS jika ada indikasi, atau pemberian makanan kaya kalium seperti pisang, air kelapa atau sayuran hijau tua.
Demam tinggi: jika demam melebihi 39º C, berikan parasetamol
Prolaps rektal: masukkan kembali dengan hati-hati prolaps rektal dengan memakai sarung tangan atau kasa basah. Alternatif lain buat larutan magnesium sulfat dalam air hangat dan kompreskan untuk mrngurangi prolaps dan udemnya.
Kejang: Kejang hanya sekali merupakan gejala yang sering terjadi akan tetapi jika ini terjadi lama dan berulang kali maka sebaiknya berikan antikonvulsan IM, hindari pemberian antikonvulsan rectal.
HUS: jika laboratorium tidak memungkinkan untuk mendiagnosis HUS maka pasien dengan gangguan kesadaran, pucat serta urin sedikit patut dicurigai adanya HUS. Pengelolaan disesuaikan dengan tatalaksana gagal ginjal.

Pemantauan ketat harus dilakukan pada anak yang mengalami dehidrasi, berusia kurang dari 1 tahun, menderita campak 6 minggu terakhir, dan tidak mengalami perbaikan yang cepat. Tanda-tanda perbaikan meliputi hilangnya demam, berkurangnya darah pada tinja, jumlah tinja yang keluar berkurang, nafsu makan membaik, dan anak dapat beraktivitas seperti semula. Gambar 1 menunjukkan tata laksana diare pada pasien rawat jalan.
Pengobatan amoebiasis secara rutin sebaiknya tidak dilakukan pada anak. Pengobatan sebaiknya dilakukan berdasarkan pemeriksaan mikrokopis pada tinja segar yang dilakukan oleh laoboratorium yang dapat dipercaya menemukan tropozoit dari E. Histilytica mengandung sel darah merah, atau telah diberikan 3 macam antibiotika berbeda yang biasanya sensitif terhadap Shigella di daerah tersebut namun tidak didapatkan perbaikan. Antimikroba yang secara empiris efektif untuk amoebiasis adalah metronidazol.

Daftar Pustaka
1. Pediatric Gastroenterology subdivision Child Health Department Medical Faculty University of Indonesia.Dysentery, persistent diarroea associated with other ikknesses. Teaching medical student about diarrheal disease. Disitasi dari http://www.who.int/child-adolescent-health/new-publication/CHILD_Health pada tanggal 15 Aprik 2003/
2. DITJEN PPM & PLP Departemen Kesehatan RI. Disentri, diare persisten, dan diare yang terjangkit dengan penyakit lain, Dalam: DITJEN PPM & PLP Departemen Kesehatan RI, penyunting. Pendidikan Medik Pemberantasan Diare (PMPD): Buku ajar diare, 1999.h.87-102.
3. WHO. The management of bloody diarrhea in young children. Disitasi dari http://www.who.int/child-adolescent-health/new_publication/CHILD_HEALTH-/WHO_CDD_94.49.htm. Diakses pada tanggal 10 Nopember 2006.
4. WHO. The outpatient management of bloody diarrhea in young children. Update No. 16 October 1994. Disitasi dari http://www.who.int/child-adolescent-health/new_publication/CHILD_HEALTH/updt-16.htm. Diakses pada tanggal 10 Nopember 2006.
5. Department of Child and Andolescent Health and Development WHO. Management of acute bloody diarrhea (Dysentery). The treatment of diarrhea: A manual for physicians and other senior health workers. Edisi ke-4. Geneva : WHO , 2005.h.17-19.
6. USAID, WHO, Unicef. Child with blood in the stools. Diarrhoea treatment gildelines; including new recommendation for the use of ORS and zinc supplementation for clinis-based health woekers. Arlington: The MOST project, 2005.h.12.
7. Niyogi SK. Shgellosis. J Microbiol, 2005;4(2): 133-43
8. WHO.Guilelines for the management of common ikkenesses with limited resources. Pocket Book of Hospital Care for Children. 2005: 127-130



PEMERIKSAAN PENUNJANG PADA DIARE

Secara umum pemeriksaan penunjang pada diare akut tidak rutin dilakukan, hanya dalam kondisi tertentu saja diperlukan pemeriksaan penunjang. Pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan antara lain pemeriksaan darah, tinja, urine dan uji hidrogen napas.

1. Pemeriksaan darah
Pemeriksaan darah rutin seperti hemoglobin, henatokrit, leukosit, trombosit, dan hitung jenis dapat dilakukan apabila dicurigai adanya infeksi lain seperti infeksi saluran pernapasan atas termasuk infeksi telinga. Pemeriksaan gula darah dan elektrolit darah seperti natrium, kalium, kalsium, magnesium dilakukan pada keadaan ensefalopati metabolik. Pemeriksaan analisis gas darah dilakukan pada keadaan klinis yang diduga adanya asidosis metabolik dengan gejala pernapasan yang cepat dan dalam (pernapasan Kusmaull) Pemeriksaan ureum dan kreatinin dilakukan pada keadaan dengan dugaan adanya gangguan fungsi ginjal akibat adanya perfusi ginjal yang menurun karena syok.

2. Pemeriksaan tinja

2.1. Pemeriksaan makroskopis tinja
Pemeriksaan makroskopis mencakup warna tinja, konsistensi tinja, bau tinja, adanya lendir, adanya darah, adanya busa. Warna tinja tidak terlalu banyak berkorelasi dengan penyebab diare. Warna hijsu tua berhubungan dengan adanya warna empedu akibat garam empedu yang dikonyugasi oleh bakteri anaerob pada kedaan bacterial overgrowth. Warna merah akibat adanya darah dalam tinja atau obat yang dapat menyebabkan warna merah dalam tinja seperti Rifampisin. Konsistensi tinja dapat cair, lembek, padat. Tinja yang berminyak, lengket dan berkilat menunjukkan adanya lemak dalam tinja. Lendir dalam tinja menggambarkan kelainan kolon, khususnya akibat infeksi bakteri. Tinja yang sangat berbau menggambarkan adanya fermentasi oleh bakteri anaerob di kolon. Darah yang bercampur dalam tinja menunjukkan gejala disentri.



2.2. Malabsorpsi laktosa
Pada diare akut sering terjadi difesiensi enzim laktese sekunder akibat rusaknya mikrofili mukosa usus halus yang banyak mengandung enzim laktase. Enzim laktase merupakan enzim yang bekerja memecah laktosa menjadi glukosa dan galaktosa, yang selanjutnya diserap dimukosa usus halus.
Salah satu cara untuk menentukan adanya malabsorpsi laktosa adalah dengan pemeriksaan clinitest dikombinasi dengan pemeriksaan pH tinja. Pemeriksaan clinitest dilakukan dengan prinsip melihat perubahan reaksi warna yang terjadi antara tinja yang diperiksa dengan tablet clinitest. Prinsip pemeriksaan ini adalah terdapatnya reduktor dalam tinja yang mengubah cupri sulfat menjadi cupro oksida. Pemeriksaan dilakukan dengan cara mengambil bagian cair dari tinja segar (sebaiknya tidak lebih dari 1jam). Sepuluh tetes air dan 5 tetes bagian cair dari tinja diteteskan ke dalam gelas tabung dari Ames, kemudian ditambah 1 tablet clinitest. Setelah 60 detik maka perubahan warna yabg terjadi dicocokkan dengan warna standar. Biru berarti negative, kuning tua berarti positif kuat (++++=2%), antara kuning dan biru terdapat variasi warna hijau kekuningan (+=1/2%), (++=3/4%), (+++=1%).
Pemeriksaan pH tinja menggunakan kertas lakmus dapat dilakukan untuk menentukan adanya asam dalam tinja. Asam dalam tinja tersebut adalah asam lemak rantai pendek yang dihasilkan karena fermentasi laktosa yang tidak diserap usus halus sehingga masuk keusus besar yang banyak mengandung bakteri komensal. Bila pH tinja <6 dapat dianggap sebagai malabsorpsi laktosa.

2.3. Malabsorpsi lemak
Malabsorpsi lemak adalah suatu keadaan dimana terdapat gangguan absorpsi lemak dalam usus sehingga lemak keluar secara berlebihan dalam tinja. Terdapatnya lemak dalam tinja lebih dari 5 gram sehari disebut sebagai steatore.
Pasase usus yang meningkat pada diare akut dapat menyebabkan gangguan absorpsi lemak. Adanya bakteri anaerob dalam saluran cerna akan menguraikan kembali garam empedu yang terkonyugasi menjadi garam empedu dekonyugasi, sehingga emulsifikasi lemak di usus halus akan tertanggu dan berakibat absorpsi lemak terganggu
Adanya lemak dapat diperiksa dengan cara pewarnaan tinja dengan Sudan III yang mengandung alkohol untuk mengeluarkan lemak agar dapat diwarnai. Secara mikroskopis dengan pembesaran 40 kali dicari butiran lemak dengan warna kuning atau jingga. Penilaian berdasarkan 3 kriteria yaitu:
1. (+) bila tampak sel lemak kecil dengan jumlah kurang dari 100 buah perlapang pandang atau sel lemak memenuhi 1/3 sampai ½ lapang pandang.
2. (++) bila tampak sel lemak dengan jumlah lebih dari 100 per lapang pandang atau sel memenuhi lebih kurang ½ lapang pandang
3. (+++) bila didapatkan sel lemak memenuhi seluruh lapang pandang.

2.4. Infeksi Bakteri
Infeksi bakteri invasif ditandai dengan ditemukannya sejumlah besar leukosit dalam tinja yang menunjukkan adanya inflamasi. Pemeriksaan leukosit tinja dengan cara mengambil bagian tinja yang berlendir seujung lidi diberi ½ tetes Eosin atau NaCl lalu dilihat dengan mikroskop cahaya, dengan hasil:
1. Bila terdapat 1-5 leukosit per lapang pandang besar disebut negative
2. Bila terdapat 5-10 leukosit per lapang pandang besar disebut (+)
3. Bila terdapat 10-20 leukosit per lapang pandang besar disebut (++)
4. Bila terdapat leukosit lebih dari 1/2 lapang pandang besar disebut (+++)
5. Bila leukosit memenuhi seluruh lapang pandang besar disebut (++++)

2.5. Imfeksi Parasit
Pemeriksaan parasit paling baik dilakukan pada tinja yang segar. Dengan memakai batang lidi atau tusuk gigi, ambilah sedikit tinja dan diemulsikan dalan tetesan NaCl fisiologis, demikian juga dilakukan dengan larutan yodium. Pengambilan tinja cukup sedikit saja agar kaca penutup tidak mengapung tetapi menutupi sediaan sehingga tidak terdapat gelembung udara. Periksalah dahulu sediaan tak berwarna (NaCl fisiologis), karena telur cacing dan bentuk trozoit dari protozoa akan lebih mudah dilihat. Bentuk kista mudah dilihat dengan pewarnaan yodium. Pemeriksaan dimulai dengan pembesaran obyektif 10x, lalu 40x untuk menentukan spesiesnya.

3. Pemeriksaan Urine
Pemeriksaan berat jenis urine dapat membantu menilai adanya dehidrasi pada penderita diare apabila terdapat keragu raguan terhadap status hidrasi penderita. Berat jenis (BJ) urine adalah 1010-1030, apabila fungsi ginjal baik dalan keadaan dehidrasi BJ urine akan meningkat. Bila terdapat dugaan adanya infeksi saluran kemih (ISK) pemeriksaan urine sebaiknya dilakukan untuk menilai adanya leukosit dalam urine.

4. Uji Hidrogen napas
Uji hidrogen napas adalah pemeriksaan yang didasarkan atas adanya peningkatan kadar hidrogen dalam udara ekspirasi. Gas hidrogen dalam udara ekspirasi berasal dari hasil fermentasi bakteri terhadap substrat baik di kolon maupun di usus halus.
Fermentasi bakteri di usus besar terjadi karena adanya substrat yang tidak di absorpsi di usus halus, sehingga turun ke kolon yang mengandung banyak bakteri komensal. Substrat yang tidak di absorpsi tersebut seperti laktosa atau fruktosa akan difermentasikan oleh bakteri komensal menghasilkan asam lemak rantai pendek (Short chain fatty acid), beberapa molekul alkohol dan gas hidrogen. Gas hidrogen tersebut dengan cepat akan diserap masuk ke sirkulasi darah lalu masuk ke paru dan dikeluarkan lewat udara napas.
Fermentasi bakteri diusus halus terjadi karena adanya bacterial overgrowth, yang didefinisikan sebagai terdapatnya koloni atau spesies koloni lebih dari 10 6 unit per millimeter cairan usus halus yang seharusnya relatif steril.
Sebelum pemeriksaan uji hidrogen napas penderita dipuasakan selama 4-6 jam, lalu diambil sample udara napas dengan cara meniup (pada bayi dengan menggunakan sungkup) pada alat yang dapat menghitung kadar hidrogen napas sebagai kadar awal hidrogen napas. Lalu diberikan larutan laktosa 2 g/kg BB dengan konsentrasi 20%, setelah itu dimabil sampel udara napas seperti sebelumnya setiap 30 menit selama 2-3 jam.
Peningkatan kadar hidrogen napas > 20 ppm, atau 10-20 ppm disertai gejala klinis (kembung, diare, muntah, sakit perut) disebut positif. Apabila peningkatan tersebut diperoleh pada 30 menit pertama yang berari fermentasi laktosa oleh bakteri sudah terjadi di usus halus dan disimpulkan sebagai bacterial overgrowth. Peningkatan yang terjadi setelah 2 jam menandakan adanya laktosa yang tidak diabsorpsi di usus halus, sehingga masuk kolon dan difermentasikan oleh bakteri di kolon menghasilkan iydrogen yang ditangkap oleh alat.



Daftar Pustaka

1. WHO. Guildelines for the management of common illnesses with limited resources. Pocket Book of Hospital Care for Children. 2005: 127-130
2. Heisig DG, Threatte GA, Henry JB. Laboratory diagnosis of gastrointestinal and pancreatic diosorders. Dalam: Henry JB, Davey FR, Herman CJ, Mc Pheron, Pincus MR, Threatte GA, dkk, editor. Clinical diagnosis and management by laboratory method. Edisi 20. Saunders; 2001.h.462-75
3. WHO. The treatment of diarrhea: a manual for physician and other health workers. WHO/CDC/SER/80.2 rev.4. Geneva, Swizerland: World Health Organization; 2005
4. Hegar B. Uji Hidrogen Napas satu cara diagnostic gangguan saluran cerna. Maj kes masy Indonesia 1998;278-80.
5. Suharyono. Pemeriksaan gangguan absorpsi. Dalam: Suharyono. Diare akut, Jakarta; Lembaga Penerbit Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia; 1986.h. 107-10.